Minggu Prapaskah 3 –

Renungan Misa Penutupan Raker Yayasan Binawirawan Se-Indonesia

Oleh RD. Dr. Hironimus Bandur

Merayakan Gereja Poskolonial

Kel 17:3-7. Rom 5:1-8. Yoh 4:5-41

Jika ada sebutan Gereja poskolonial (postcolonial) berarti ada juga sebutan Gereja masa kolonial. Gereja-Gereja di Asia lebih dikenal sebagai Gereja-Gereja warisan Eropa, mulai dari Spanyol, Portugis, Perancis, Inggris dan Belanda. Bangsa-bangsa dimaksud mendatangi wilayah Asia termasuk Indonesia dan menjadikan wilayah Asia sebagai daerah koloni/jajahan baru mereka.

Di Indonesia penguasaan Eropa terhitung sejak tahun 1500 melalui bangsa Portugis dan Spanyol, yang kemudian disusul dengan kedatangan bangsa Belanda sejak 1602 di bawah Cornelis de Houtman, dengan bendera VOC. Sampai dengan tahun 1799, kekristenan yang berjaya di Indonesia adalah Kristen Protestan yang menyebar dan berkembang sejalan dengan kekuatan politik dagang VOC. Kekatolikan baru mendapat angin segar, sejak raja Belanda dipimpin oleh seorang Katolik berkebangsaan Prancis, Louis Bonaparte (adik kandung dari Napoleon Bonaparte), setelah VOC jatuh dan bangkrut pada 1799. Di antara tahun-tahun itu sampai dengan masa sebelum Konsili Vatikan kedua (1962-1965), konsep Gereja terutama ilmu tentang Gereja (eklesiologi) kental dengan dominasi politik Belanda/Eropa, yakni bahwa kekristenan adalah dasar moral, sebab itu, di luar kekeristenan tidak ada kebenaran. Inilah yang disebut eklesiologi kolonial, yaitu eklesiologi yang tertutup dan eksklusif, rigid dan monolitik bahkan monokultur.

Injil hari ini mengajak kita untuk bergerak menuju Gereja yang terbuka sejalan dengan watak dunia tanpa sekat oleh karena revolusi teknologi digital yang tak terkendali pada era ini. Injil dimulai dengan perjumpaan Yesus dengan wanita Samaria di sumur Yakub (Yoh 4:7). Wanita Samaria pergi ke sumur Yakub ketika hari sudah siang, bukan di pagi hari atau atau pagi-pagi buta atau di sore hari seperti para wanita lainnya.

Pagi hari atau pagi-pagi buta adalah waktu dimana para ibu berdatangan ke sumur untuk menimba air, mandi dan urusan cuci-mencuci. Sementara itu, wanita itu menyadari dirinya, jika menimba air pagi-pagi atau sore-sore seperti para ibu lainnya, pasti dirinya akan ditatap dengan sebelah mata. Ia menyadari dirinya sebagai wanita berdosa, dan menyadari benar konsekuensinya jika menimba air dalam waktu yang bersamaan dengan para ibu umumnya. Dia mau seorang diri saja, sebab itu, dia memilih waktu di siang bolong. Ternyata Yesus telah terlebih dahulu berada di sumur itu sambil menunggu para muridNya pulang dari kota mencari makanan (Yoh 4:4-6).

Ada satu ironi besar sebelum kedatangan Yesus di sumur Yakub. Sumur itu adalah milik semua bangsa, dan semua agama juga. Sumur menjadi tempat perjumpaan semua etnik dan semua agama. Sumur juga menjadi tanda rekonsiliasi, perdamaian dan pembebasan batin. Sumur telah menjadi saksi kepemilikan karakter terbuka dan tampang lintas batas. Sumur itu tidak dapat dikapling sebagai milik bangsa tertentu dan agama tertentu. Sumur itu jugapun tidak diciptakan hanya untuk suku tertentu. Ia mengundang semua semua bangsa dan semua agama untuk menimba sukacita dan harapan akan kehidupan masa depan yang lebih baik.

Namun orang datang dan pergi sambil membawa insting suku dan agama mereka masing-masing. Pada sumur terjadi pembauran, tetapi “tidak padu”. Orang-orang Yahudi mencari teman ngobrol dengan sesame Yahudi, sedangkan orang Samaria mencari teman ngobrol sesama Samaria. Mereka tampak dapat berkoeksistensi, namun sesungguhnya monoeksisten. Mereka tidak diperbolehkan saling tegur, kecuali sesama Yahudi atau sesama Samaria. Konteks monoeksistens ini diretas oleh Yesus setelah menginisiasi percakapan dengan wanita Samaria di siang bolong itu. Yesus mengubah suasana monoeksisten menjadi proeksisten, saling terlibat dalam dialog yang menghasilkan sebuah transformasi diri pada seorang wanita Samaria. Tindakan Yesus menginspirasi kita untuk setia menghadirkan Gereja yang terbuka kepada agama dan budaya lain.

Perjumpaan dan dialog Yesus dengan wanita Samaria mengandung beberapa pesan bagi umat beriman.

Pertama, Tuhan memanggil saya untuk menjadi pribadi yang borderless (tanpa sekat), terutama dalam hubungan dengan agama dan etnik. Setiap orang Kristen dipanggil untuk menjadi tanda yang menghadirkan Allah yang lintas batas. Kita adalah milik agama kita, tetapi agama kita juga adalah sekaligus inspirasi bagi kerterbukaan, reformasi dan transformasi.

Dalam tubuh Gereja, eklesiologi kita harus berubah dari eklesiologi kolonial, yang tertutup dan eksklusif menuju eklesiologi poscolonial, yaitu Gereja yang terbuka, Gereja sinodal dan Gereja yang mau mendengarkan semua bangsa dan semua agama. Berinspirasi pada injil hari ini, segenap pengikut Kristus dipanggil untuk menjadi “Gereja Sumur Yakub”. Yesus datang ke sumur Yakub itu bukan memilih untuk menghidari wanita Samaria itu, tetapi justru sebaliknya, Yesus menyapanya dan berdialog secara ramah dengan wanita Samaria itu (Yoh 4:5-7).

Karakter Yesus analog dengan fungsi sumur yang dimanfaatkan untuk semua orang, bukan hanya untuk orang Yahudi, atau hanya untuk orang Samaria saja. Yesus bergerak melampaui keYahudianNya.

Kedua, siapapun dan apapun kita, tetap akan ditemui oleh Tuhan. Wanita Samaria itu tahu diri bahwa dia adalah wanita berdosa (Yoh 4:6-7). Ia adalah satu dari golongan Yahudi kelas dua. Dia sadar bahwa dia bukanlah Yahudi puritan, tetapi Yahudi sinkretik, sebagaimana distereotipkan oleh kaum Yahudi di wilayah Selatan. Dia juga tidak ingin bertemu dengan siapa-siapa, tidak dengan ibu-ibu Yahudi, apalagi lelaki Yahudi seperti Yesus. Ia ingin menyendiri saja. Ia mau agar perjalanannya menuju sumur dan segala aktivitas hariannya tidak diketahui banyak orang, sebab itu ia memilih waktunya sendiri yaitu siang hari, waktu yang tidak biasa untuk semua wanita Yahudi, atau orang Yahudi umumnya. Bukan kita yang kehendaki, tetapi Tuhan selalu mau dan berinisiatif untuk menemui kita. Mungkin kita aktif mencari Tuhan, tetapi Tuhan selalu punya cara untuk mencari dan menemui kita, bahkan dalam waktu yang tidak kita duga. Tanda dari Gereja poscolonial di sini adalah inisiatif setiap anggota Gereja untuk bertemu dengan setiap orang yang bermasalah, daripada mengambil keputusan untuk seseorang berdasar pada cerita-cerita dari orang-orang lain. Tindakan Yesus menjadi teladan untuk terus mengembangkan Gereja poskolonial, yaitu Gereja aktif mencari dan menemukan “yang hilang”.

Ketiga, Tuhan mengenal kita, sebab itu dia mau menyelamatkan kita, namun sama sekali tidak menghakimi kesalahan dan keberdosaan kita. Percakapan jarak dekat antara Yesus dengan wanita Samaria itu mengubah banyak hal pada diri wanita Samaria, antara lain 1) wanita Samaria itu dapat mengungkap isi hatinya, beban hidup rumah tangganya (Yoh 4:17-19), tetapi Tuhan tidak menghakimi wanita Samaria itu, apalagi menghukumnya. Inilah perjumpaan yang membebaskan, menyembuhkan dan mengubah hidup wanita Samaria itu. 2) mengubah konsep relasi dengan kelompok masyarakat lain. 3) warta wanita Samaria meyakinkan banyak orang lainnya dan mau mengikuti Kristus (Yoh 4: 39-41). Kita kerap kali terjebak dengan mental-mental ini: menghitung-hitung kesalahan orang lain, menghakimi dan menghukum orang bersangkutan dari kejauhan posisi kita, tanpa ingin berada dekat, dan siap mendengar isi hati dari yang bermasalah. Kita lebih suka mendengar orang-orang yang kita percayai, dan menolak setiap eksepsi dari yang “bermasalah”. Kita hendak menyelamatkan seseorang atas nama kemanusiaan, tetapi malah tindakan kemanusiaan kita yang bermasalah. Teolog Taiwan, Seng Song mengajak kita untuk membedakan istilah problematic humanity (kemanusiaan yang bermasalah) dengan masalah-masalah kemanusiaan (the problem of humanity). Keprihatinan teologi bukan hanya pada the problem of humanity (masalah-masalah kemanusiaan) tetapi terutama pada kemanusiaan yang bermasalah. Pada kemanusiaan yang bermasalah ini, salah satunya tampak pada aksi-aksi projektisasi persoalan-persoalan kemanusiaan. Dengan kata lain, “masalah” dijadikan instrumen untuk memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Semangat Gereja Poskolonial di sini merujuk pada setiap keputusan dan tindakan yang menonjolkan aspek pengampunan dan kemurahan hati tanpa meninggalkan profesionalitas. Lebih menunjukkan sikap yang prefentif dan sekaligus kuratif daripada menghakimi dan menghukum.

Keempat, Yesus menawarkan air hidup, yang merujuk pada roh yang akan diterima oleh orang-orang yang percaya kepadaNya. Air hidup juga merujuk pada ajaran-ajaran Yesus dan kebenaran-kebenaran yang disampaikanNya. Roh dan kebenaran akan tinggal dalam hati setiap orang yang percaya kepadaNya, seperti mata air yang terus menerus memancar sampai pada hidup yang kekal (Yoh 4:13-15).

Kelima, wanita Samaria itu akhirnya mengakui Yesus sebagai nabi dan Tuhan (Yoh 4:7.19-20), sebab pada zaman itu, hanya seorang nabi saja yang dapat meramalkan dan mengetahui hal-hal yang tersembunyi dari diri seseorang. Iapun memanfaatkannya untuk berdialog tentang hal-hal yang rumit dan sensitif kepada sang nabi: misalnya tentang cara beribadat yang benar di antara orang Yahudi dan orang Samaria. Demikian juga soal Bait Allah, manakah yang paling benar, Bait Allah orang Yahudi atau Bait Allah orang Samaria, sebab masing-masing pihak menganggap diri benar dan menganggap yang sesat, dan kafir, padahal mereka menyembah Allah yang sama (Yoh 4:20-24). Klaim kebenaran eksklusif selalu ada pada setiap agama dalam masyarakat plural. Tak jarang ditemukan dimana konflik dan ketegangan terjadi karena klaim kebenaran secara eksklusif.

Marilah kita terus berdoa agar diri kita senantiasa “merayakan” Gereja poskolonial, yaitu Gereja yang terbuka, sinodal, dan Gereja Sumur Yakub, yang mendamaikan, menguatkan, menyembuhkan, membebaskan, menyucikan dan menyelamatkan setiap jiwa. Semoga program pastoral Gereja di keuskupan kita masing-masing sungguh – sungguh menjadi tanda kehadiran Gereja Sumur Yakub, yang menyegarkan umat dan sekaligus menyelamatkan umat dari kesulitan ekonomi dan lain sebagainya.

Secara khusus bagi upaya-upaya pengembangan karya-karya pelayanan Yayasan Binawirawan di seluruh Indonesia, Yayasan Binwin menjadi tanda kehadiran Gereja poskolonial dimanapun di nusantara ini. Marilah kita juga berdoa, bagi segenap umat manusia dalam agama dan golongan apapun, yang telah mempersembahkan diri bagi aksi-aksi bonum publicum (kebaikan bersama) agar tetap menjadi teladan bagi semua orang dalam agama dan golongan manapun. Dan akhirnya, semoga masa puasa 40 hari ini membantu umat beriman agar semakin menampilkan wajah Gereja poskolonial di tengah konteks pluralitas Indonesia.

Penulis adalah Imam Projo Keuskupan Ruteng Mengajar pada STIPAS St. Syrilus Ruteng.